JAKARTA — Pengamat politik dari Politika Research & Consulting, Nurul Fatta, menilai pernyataan Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang larangan 'berselingkuh dengan konstitusi' sebagai pesan politik yang sarat makna dan tidak bisa dibaca sekadar nasihat normatif.
Menurut Fatta, pernyataan SBY justru merupakan satire politik yang menyentil praktik kekuasaan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Ucapan SBY ini loaded. Sulit dilepaskan dari dinamika politik 2023–2024, terutama polemik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden,” kata Fatta, Minggu, 14 Desember 2025.
SBY sebelumnya mengingatkan para politikus agar tidak menyimpang dari konstitusi demi meraih kekuasaan.
“Dalam meraih kekuasaan, jalannya harus benar. Jangan berselingkuh terhadap konstitusi. Jangan menyalahgunakan kekuasaan,” ujar SBY saat peluncuran buku otobiografi Marsekal (Purn) Djoko Suyanto di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu, 13 Desember 2025.
Fatta menilai pemilihan diksi 'berselingkuh' bukan tanpa maksud. Istilah tersebut, menurut dia, mengandung makna pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan prinsip dasar konstitusi.
“SBY sedang menegaskan bahwa menang itu penting, tapi cara menang jauh lebih penting. Ini kritik terhadap pragmatisme politik yang mengakali aturan hukum demi melanggengkan kekuasaan dinasti atau kelompok tertentu,” ujarnya.
Lebih jauh, Fatta memandang pernyataan SBY juga sebagai peringatan dini bagi pemerintahan mendatang di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto. Meski Partai Demokrat tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo–Gibran, SBY dinilai tetap menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan.
“Sebagai sesama jenderal purnawirawan dan sekutu politik, SBY seolah mengingatkan Prabowo agar tidak meniru pola-pola penyalahgunaan kekuasaan sebelumnya,” kata Fatta.
Ia menambahkan, sikap SBY menunjukkan konsistensi menjaga pagar konstitusi, meskipun putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, berada dalam lingkaran koalisi pemenang.
“Anaknya boleh ada di kekuasaan, tapi konstitusi tidak boleh ditabrak. Ini pesan pendidikan politik, bahwa koalisi adalah kerja sama, bukan persekongkolan merusak aturan main,” pungkas Fatta.[]